وَأَعْظَمُ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ التَّوْحيِدُ وَهُوَ: إِفْرَادُ اللهِ بِالْعِبَادَةِ.

“Hal teragung yang diperintahkan Allah adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam ibadah”

Syarah:

Benar, tauhid adalah perkara terbesar yang Allah ﷻ perintahkan. Terbukti, seluruh para nabi menyerukan hal ini. Allah ﷻ berfirman,

﴿وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَۖ﴾

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Tagut itu’.” (QS. An-Nahl: 36)

Allah ﷻ juga berfirman tentang Nabi Hud alaihissalam,

﴿وَإِلَىٰ عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًاۗ قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۚ أَفَلَا تَتَّقُونَ﴾

“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (QS. Al A’raf: 650).

Allah ﷻ juga berfirman tentang kaum Nabi Nuh alaihissalam,

﴿وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا﴾

“Dan mereka berkata: ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr’.” (QS. Nuh: 23)

Ini menunjukan bahwa Nabi Nuh ‘alaihis salam memerintahkan kaumnya untuk meninggalkan sesembahan-sesembahan selain Allah, sehingga kaumnya bersikeras untuk tetap menyambah sesembahan-sesembahan tersebut.

Allah ﷻ juga berfirman tentang Nabi Shalih alaihissalam,

﴿وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًاۗ قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۖ﴾

“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shalih. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya’.” (QS. Al-A’raf: 73)

Begitu juga dengan nabi-nabi lainnya, mereka seluruhnya diperintahkan oleh Allah ﷻ untuk menyerukan tauhid kepada umat mereka masing-masing. Hal ini karena tauhid merupakan tujuan dari penciptaan seluruh makhluk.

Seseorang yang mengerti akan hal ini (tauhid merupakan tujuan penciptaan manusia), maka tauhid akan senantiasa berada di benaknya. Dalam aktivitas kesehariannya, ia akan selalu mengaplikasikannya dengan tauhid, seperti ketika hendak membantu orang lain, ia akan berpikir apakah yang ia lakukan ini karena Allah ﷻ ataukah tidak? Begitu juga saat mengunjungi orang tua, saudara, ataupun kerabat, ia akan berpikir apakah yang ia lakukan tersebut karena Allah ﷻ ataukah tidak? Dan begitu seterusnya pada aktivitas-aktivitas yang lain, sehingga jadilah aktivitas-aktivitas tersebut bernilai ibadah di sisi Allah ﷻ. Namun sangat disayangkan, banyak di antara kita yang lalai akan hal ini.

Ini menyadarkan bahwa seharusnya konsentrasi dakwah para dai dalam berdakwah adalah tauhid. Namun, bukan berarti para dai tidak boleh untuk berdakwah tentang permasalahan-permasalahan agama yang lain seperti, akhlak, ekonomi, sirah dan lainnya. Yang dimaksud adalah apa pun yang pembahasan/materi yang didakwahkan, para dai harus terfokus bahwa substansi dari dakwahnya tersebut adalah mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah ﷻ, sebab sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa tauhid merupakan tujuan utama diciptakannya manusia dan juga tujuan utama Allah ﷻ mengutus para rasul.

Apa itu tauhid?

Di sini, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mendefinisikan tauhid dengan “mengesakan Allah ﷻ dalam Ibadah”. Artinya adalah semua ibadah hanya untuk Allah ﷻ.

وَأَعْظَمُ مَا نَهَى عَنْه الشِّركُ، وَهُوَ: دَعْوَةُ غَيْرِهِ مَعَهُ، وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا

“Sementara hal yang sangat dilarang-Nya adalah kesyirikan, yaitu beribadah kepada selain Allah bersama Allah. Dalilnya adalah firman Allah  (yang artinya), ‘Dan sembahlah Allah dan jangan berbuat syirik kepada-Nya sedikit pun’. (QS. An-Nisa: 35)”

Syarah:

Setelah menjelaskan perkara terbesar yang Allah perintahkan, selanjutnya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah kemudian menjelaskan tentang perkara terbesar yang Allah ﷻ larang, yaitu syirik.

Apa itu syirik?

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mendefinisikan syirik dengan “beribadah kepada selain Allah ﷻ bersama Allah”.

Syirik dalam bahasa Indonesia artinya adalah menyekutukan, yang berarti menduakan, mentigakan, mengempatkan, dan seterusnya. Karenanya, orang-orang yang melakukan kerja sama di antara beberapa orang disebut dengan syarikat.

Nabi Muhammad ﷺ pernah ditanya, apakah dosa yang paling besar? Nabi Muhammad ﷺ pun menjawab,

أن تَجعلَ للهِ ندًّا وهوَ خلقَك

“Engkau mengambil tandingan bagi Allah  padahal Allah  lah yang menciptakan engkau.”([26])

Dari sini dapat dipahami bahwa syirik bukan berarti tidak beribadah kepada Allah ﷻ seperti halnya ateis, namun syirik yaitu beribadah kepada Allah ﷻ dan juga beribadah kepada selain Allah ﷻ. Artinya, seseorang mengambil sekutu untuk digandengkan dengan Allah ﷻ dalam peribadatan.

Inilah yang terjadi pada kaum musyrikin Arab. Jika kita kembali membaca sejarah-sejarah mereka, akan kita dapati bahwa mereka pun beribadah kepada Allah ﷻ, mereka melakukan umrah dan haji.

Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa ketika melakukan tawaf mereka mengucapkan,

لَبَّيْكَ لا شَرِيكَ لَكَ

“Kami menyambut panggilanmu Ya Allah, tidak ada sekutu bagi-Mu.”

Mendengar itu, Nabi Muhammad ﷺ pun menegur mereka agar mencukupkan perkataan mereka di situ. Namun ternyata mereka meneruskan ucapan mereka dengan berkata,

إلَّا شَرِيكًا هو لَكَ، تَمْلِكُهُ وَما مَلَكَ

“Kecuali sekutu bagi-Mu yang memang Kau kuasai dan ia tidak menguasai.”([27])

Selain itu, Nabi Muhammad ﷺ sebelum berhijrah, di setiap tahunnya Beliau ﷺ pergi ke mina untuk berdakwah di sana, sebab saat itu di Mina sedang ramai dikunjungi oleh manusia untuk melaksanakan haji. Salah satu perkataan yang Nabi Muhammad ﷺ ucapkan kepada mereka saat berdakwah ketika itu,

يا أيُّها الناسُ: قولوا: لا إلهَ إلَّا اللهُ، تُفْلِحوا

“Wahai sekalian manusia, Katakanlah ‘Lailaha ilallah’ kalian akan beruntung.”([28])

Mereka pun menjawab seruan Nabi Muhammad ﷺ tersebut dengan berkata,

﴿أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَٰهًا وَاحِدًاۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ﴾

“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shad: 5)

Intinya, penulis ingin menyampaikan poin bahwasanya syirik bukan berarti tidak beribadah kepada Allah ﷻ seperti halnya orang-orang ateis, namun syirik adalah beribadah kepada Allah ﷻ dan juga kepada selain Allah ﷻ, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang musyrik Arab terdahulu.

Apakah mungkin seseorang yang melakukan salat berbuat syirik? Sangat mungkin, jika ia salat, namun ternyata ia meminta (berdoa) kepada penghuni kubur.

Apakah mungkin seseorang yang menyembelih untuk Allah ﷻ berbuat syirik? Sangat mungkin, bisa jadi saat ‘idul adha ia menyembelih untuk Allah ﷻ sedang di hari lain ia menyembelih untuk jin atau setan.

Kesimpulannya, syirik merupakan lawan dari tauhid. Tauhid yaitu menyerahkan segala peribadatan hanya semata-mata kepada Allah ﷻ. Adapun syirik yaitu kepada Allah ﷻ dan juga kepada selain Allah ﷻ.

وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى  :وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا

“Dalilnya adalah firman Allah  (yang artinya), ‘Dan sembahlah Allah dan jangan berbuat syirik kepada-Nya sedikit pun’. (QS. An-Nisa: 36)”

Syarah:

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah kemudian mendatangkan dalil bahwasanya Allah ﷻ memerintahkan tauhid dan melarang kesyirikan, yaitu firman Allah ﷻ,

﴿وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًاۖ﴾

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (QS. An Nisa’: 36)

Berdasarkan ilmu usul fikih, kata شَيْئًا di atas memberi faedah keumuman, sebab ia adalah isim nakirah yang datang dalam konteks larangan. Begitu juga dengan kalimat لَا تُشْرِكُوا pun juga memberi faedah keumuman, sebab ia adalah fi’il yang mengandung masdar nakirah.

Dari sini, arti ﴿وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًاۖ﴾ dalam bahas Indonesia secara lengkap adalah “Dan janganlah kalian menyekutukan Allah ﷻ dengan apa pun dalam bentuk syirik apa pun”.

Di sini terdapat dua keumuman:

  1. Jangan kalian menyekutukan Allah ﷻ dengan apa pun ﴿شَيْئًاۖ﴾.

Dalam hal ini termasuk nabi, malaikat, wali, pohon, jin, mayat, dan yang lainnya.

  1. Bentuk syirik apa pun ﴿وَلَا تُشْرِكُوا﴾.

Baik itu syirik akbar, syirik kecil, syirik khafi, syirik Jali, dan segala bentuk syirik lainnya.

Inilah hakikat dari milah (agama) Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang kita diperintahkan untuk mengikutinyayaitu bertauhid dan tidak berbuat syirik sama sekali dengan apa pun dan dalam bentuk apa pun.

 

Sumber : https://bekalislam.firanda.com/5097-mukadimah-al-utsul-ats-tsalatsah.html

Leave a Comment