Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,
فَلَمَّا اسْتَقَرَّ فِي الْمَدِينَةِ أُمِرَ بِبَقِيَّةِ شَرَائِعِ الإِسْلامِ، مِثلِ: الزَّكَاةِ، وَالصَّوْمِ، وَالْحَجِّ، وَالأَذَانِ، وَالْجِهَادِ، وَالأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ شَرَائِعِ الإِسْلامِ، أَخَذَ عَلَى هَذَا عَشْرَ سِنِينَ، وَتُوُفِّيَ ـ صَلواتُ اللهِ وَسَلامُهُ عَلَيْهِ. وَدِينُهُ بَاقٍ. وَهَذَا دِينُهُ، لا خَيْرَ إِلا دَلَّ الأُمَّةَ عَلَيْهِ، وَلا شَرَّ إِلا حَذَّرَهَا مِنْهُ، وَالْخَيْرُ الَّذِي دَلَّهَا عَلَيْهِ التَّوْحِيدُ، وَجَمِيعُ مَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ، وَالشَّرُ الَّذِي حَذَّرَهَا مِنْهُ الشِّرْكُ، وَجَمِيعُ مَا يَكْرَهُ اللهُ وَيَأْبَاهُ. بَعَثَهُ اللهُ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً، وَافْتَرَضَ طَاعَتَهُ عَلَى جَمِيعِ الثَّقَلَيْنِ الْجِنِّ وَالإِنْسِ؛ وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا﴾. وَكَمَّلَ اللهُ بِهِ الدِّينَ؛ وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا﴾
“Ketika Nabi ﷺ menetap di Madinah, beliau ﷺ diperintahkan untuk menjalankan syariat-syariat Islam yang lain, seperti zakat, puasa, haji, jihad, azan, amar makruf, nahi mungkar, dan syariat-syariat Islam yang lainnya.
Ini berlangsung selama 10 tahun dan setelah itu Nabi ﷺ wafat. Dan agamanya tetap ada. Inilah agamanya, tidak ada kebaikan melainkan beliau ﷺ telah menunjukkannya kepada umatnya dan tidak ada keburukan melainkan beliau ﷺ telah memperingatkannya kepada umatnya. Kebaikan yang ditunjukkan oleh Nabi ﷺ adalah tauhid dan segala perkara yang Allah ﷻ cintai dan ridai. Dan keburukan yang Rasulullah ﷺ peringatkan adalah kesyirikan dan seluruh yang dibenci dan tidak disukai Allah ﷻ. Allah ﷻ mengutus beliau kepada seluruh manusia dan mewajibkan seluruh jin dan manusia untuk menaatinya. Dalilnya adalah firman Allah ﷻ berfirman,
“Katakanlah: Wahai sekalian manusia! Aku adalah utusan Allah kepada kalian seluruhnya.” (QS. Al-A’raf: 158)
Dengan diutusnya beliau ﷺ, Allah menyempurnakan agama. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama bagimu dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku padamu serta telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.” [QS. Al-Ma`idah [5]: 3]
Syarah
Terdapat perbedaan pendapat berkaitan dengan syariat zakat. Ada yang mengatakan bahwa dia telah diwajibkan sejak di Makkah, akan tetapi perinciannya dijelaskan setelah berada di Madinah.
Setelah Rasulullah ﷺ berdakwah selama sepuluh tahun di Madinah, lalu beliau ﷺ meninggal dunia. Rasulullah ﷺ meninggal pada hari Senin 12 Rabiul Awal tahun 11 H. Hari kelahiran beliau diperselisihkan, adapun wafatnya maka kebanyakan para ulama sepakat akan tanggalnya. Hal ini dikarenakan ketika Rasulullah ﷺ lahir tidak banyak yang mengenalnya, berbeda ketika beliau ﷺ wafat maka banyak yang mengenalnya sebagai seorang nabi. Sehingga semua mengetahui tanggal wafatnya.
Terlalu banyak dalil yang menunjukkan bahwa Allah ﷻ mengutus Rasulullah ﷺ kepada seluruh manusia dan jin. Allah ﷻ berfirman,
﴿ قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا ﴾
“Katakanlah: Wahai sekalian manusia! Aku adalah utusan Allah kepada kalian seluruhnya.” (QS. Al-A’raf: 158)
Juga firman Allah ﷻ,
﴿ وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ ﴾
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)
Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
“Dahulu seorang nabi diutus kepada kaumnya secara khusus, sedangkan aku diutus kepada manusia secara umum.” ([8])
Rasulullah ﷺ juga diutus kepada kaum jin, Allah ﷻ berfirman,
﴿وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِمْ مُنْذِرِيْنَ، قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَى مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيقٍ مُسْتَقِيمٍ﴾
“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)”. Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Ahqaf: 29-30)
Agama Islam adalah agama yang terakhir dan Nabi Muhammad ﷺ adalah nabi yang terakhir. Konsekuensi dari nabi terakhir adalah agamanya harus sempurna, tidak akan ada lagi datang agama berikutnya yang menyempurnakannya. Agama sebelumnya tidak sempurna maka tidak masalah, karena akan ada agama berikutnya yang akan menyempurnakannya. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إِنَّ مَثَلِي وَمَثَلَ الأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِي، كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بَيْتًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ، إِلَّا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ، وَيَعْجَبُونَ لَهُ، وَيَقُولُونَ هَلَّا وُضِعَتْ هَذِهِ اللَّبِنَةُ؟ قَالَ: فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتِمُ النَّبِيِّينَ “
“Sesungguhnya perumpamaanku dan perumpamaan nabi-nabi sebelumku seperti seseorang yang membangun suatu rumah lalu dia membaguskannya dan memperindahnya kecuali tempat satu labinah (batu bata) yang berada di pojok rumah tersebut yang belum terpasang, lalu manusia mengelilinginya dan mereka terkagum-kagum dengannya sambil berkata: Alangkah baiknya jika labinah (batu bata) ini diletakkan (di tempatnya). Beliau bersabda: Maka akulah labinah (batu bata) tersebut dan aku adalah penutup para Nabi.” ([9])
Jadi, dengan diutusnya Nabi Muhammad ﷺ maka telah sempurnalah agama ini, dan tidak lagi memerlukan kepada nabi baru untuk menyempurnakan agama ini.
Berbeda dengan orang-orang liberal yang mengatakan bahwa teks Al-Qur’an dan hadis hanya relevan untuk 1400 tahun yang lalu. Adapun sekarang, kita harus berijtihad untuk membuat hukum-hukum baru yang relevan dengan kondisi masyarakat. Maka kita katakan bahwa jika Islam tidak butuh kepada nabi baru maka terlebih lagi kepada orang-orang liberal. Lebih dari itu Nabi Isa ‘alaihissalam ketika turun di akhir zaman akan menjalankan syariat Nabi Muhammad ﷺ.
Di antara konsekuensi Nabi Muhammad ﷺ menjadi nabi yang terakhir adalah beliau harus diutus kepada seluruh umat manusia. Jika Rasulullah ﷺ hanya diutus kepada sebagian manusia maka ini mengharuskan sebagiannya lagi butuh kepada nabi yang lain.
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,
وَالدَّلِيلُ عَلَى مَوْتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ، ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عِندَ رَبِّكُمْ تَخْتَصِمُونَ﴾
Dalil atas kematian Nabi ﷺ adalah firman Allah ﷻ,
“Sesungguhnya engkau akan mati dan sesungguhnya mereka juga akan mati. Kemudian, benar-benar kalian pada hari Kiamat berbantah-bantahan di sisi Tuhanmu.” (QS. Az-Zumar: 30-31)
Syarah
Dalam ayat ini Allah ﷻ menyamakan kematian Nabi Muhammad ﷺ dengan kematian orang-orang musyrikin, yaitu dari sisi sama-sama akan meninggal maka tidak ada beda antara Nabi dan kaum musyrikin. Akan tetapi, tentu akan ada perbedaan ketika kondisi akan meninggal, apalagi selanjutnya di alam barzakh dan di hari kebangkitan.
Kita harus tahu, bahwasanya Rasulullah ﷺ meninggal sebagaimana nabi-nabi sebelumnya. Allah ﷻ berfirman,
﴿وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ﴾
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 144)
Ketika Rasulullah ﷺ meninggal dunia, Umar bin al-Khatthab tidak terima. Dia mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ hanya pergi sebentar dan akan kembali. Dia menantang berduel dengan orang yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ meninggal. Saat itu semua sahabat tidak ada yang berani untuk berbicara dengan Umar, hingga datanglah Abu Bakar dan berkata,
مَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لَمْ يَمُتْ، وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ {وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ، أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ، وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا، وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ} قَالَ عُمَرُ: فَلَكَأَنِّي لَمْ أَقْرَأْهَا إِلَّا يَوْمَئِذٍ
“Barang siapa yang menyembah Allah maka sesungguhnya Allah ﷻ Maha Hidup tidak mati, dan barang siapa yang menyembah Muhammad maka sesungguhnya Muhammad telah meninggal, {Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur}. “Umar pun berkata, ‘Sungguh, seakan-akan aku belum pernah membaca ayat ini kecuali hari ini.” ([10])
Padahal ayat ini telah mereka hafal, akan tetapi dalam kondisi terguncang saat itu, membuat mereka lupa. Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dengan tegar mengingatkan mereka bahwasanya Rasulullah ﷺ telah meninggal dunia.
Tentunya Rasulullah ﷺ di alam barzakh hidup dengan kehidupan yang khusus sebagaimana para syuhada, Allah ﷻ berfirman,
﴿ وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ ﴾
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS. Al-Baqarah: 154)
Dalam ayat yang lain Allah ﷻ berfirman,
﴿ وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ ﴾
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran: 169)
Akan tetapi kehidupan mereka di alam barzakh tidak seperti kehidupan mereka di atas muka bumi. Oleh karenanya hukum-hukum yang berkaitan dengan kematian berlaku kepada mereka.
Contohnya para istri mereka yang telah menjadi janda boleh dinikahi. Hal ini dikarenakan suami mereka telah meninggal, seandainya mereka masih hidup di dunia maka tentunya tidak boleh istrinya dinikahi.
Contoh lainnya adalah hartanya diwariskan. Seandainya dia masih hidup di dunia maka tentu tidak boleh hartanya untuk diwariskan.
Semua ini menunjukkan bahwa kehidupan mereka di alam barzakh berbeda dengan kehidupan mereka di dunia. Oleh karenanya tidak boleh menganalogikan bahwa kehidupan di alam barzakh sama dengan kehidupan di dunia. Sehingga sebagian orang meminta tolong, berdoa, dan lainnya kepada para mayat.
Inilah yang dipahami oleh para sahabat, bahwa Rasulullah ﷺ telah meninggal. Seandainya Rasulullah ﷺ masih hidup maka tentunya para sahabat tidak perlu bersedih ketika beliau meninggal. Jika Rasulullah ﷺ masih hidup sebagaimana persangkaan sebagian orang, maka tentunya para sahabat akan langsung bertanya kepada Rasulullah ﷺ jika ada permasalahan besar seperti perang saudara yang terjadi setelah beliau ﷺ wafat. Akan tetapi tidak didapati seorang pun yang datang ke kuburan Rasulullah ﷺ untuk meminta solusi terhadap permasalahan yang sedang mereka hadapi.
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata :
وَالنَّاسُ إِذَا مَاتُواْ يُبْعَثُونَ؛ وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى﴾. وقَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَاللَّهُ أَنبَتَكُم مِّنَ الأَرْضِ نَبَاتًا، ثُمَّ يُعِيدُكُمْ فِيهَا وَيُخْرِجُكُمْ إِخْرَاجًا﴾. وَبَعْدَ الْبَعْثِ مُحَاسَبُونَ وَمَجْزِيُّونَ بِأَعْمَالِهِمْ، وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ لِيَجْزِيَ الَّذِينَ أَسَاؤُوا بِمَا عَمِلُوا وَيَجْزِيَ الَّذِينَ أَحْسَنُوا بِالْحُسْنَى﴾. وَمَنْ كَذَّبَ بِالْبَعْثِ كَفَرَ، وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَن لَّن يُبْعَثُوا قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ وَذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ﴾.
“Apabila manusia meninggal, mereka akan dibangkitkan kembali. Dalilnya adalah firman Allah ﷻ,
“Dari tanah itulah Kami menciptakan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan darinya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.” [QS. Thaha [20]: 55]
Dan juga firman Allah ﷻ,
“Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan kamu dengan sebenar-benarnya.” (QS. Nuh: 17-18)
Setelah kebangkitan, mereka dihisab dan dibalas amal-perbuatannya. Dalilnya adalah firman Allah ﷻ,
“Supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).” (QS. An-Najm: 31)
Barang siapa yang mendustakannya, maka dia kafir. Dalilnya adalah firman Allah ﷻ,
“Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: ‘Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.’ Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. At-Taghabun: 7)
Syarah
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyebutkan tentang hari kebangkitan, lalu beliau menyebutkan beberapa dalil.
Sesungguhnya al-Qurán menyebutkan banyak sisi pendalilan yang menunjukan bahwa adanya hari kebangkitan adalah perkara yang sangat mungkin bahkan pasti terjadi, di antaranya:
Pertama: Allah ﷻ yang pertama kali menciptakan, maka untuk mengulangi lebih mudah.
Allah ﷻ berfirman,
﴿ وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ . قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ ﴾
“Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?” Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” (QS. Yasin: 78-79)
Jika Allah ﷻ yang menciptakan manusia pertama kali, maka untuk menciptakannya untuk kedua kali lebih mudah. Bukankan pengulangan menurut pandangan kita lebih mudah daripada permulaan. Bagi Allah ﷻ permulaan dan pengulangan sama-sama sangat mudah, Allah ﷻ berfirman,
﴿ وَهُوَ الَّذِي يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ وَهُوَ أَهْوَنُ عَلَيْهِ ﴾
“Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya.” (QS. Ar-Rum: 27)
Kedua: Jika kebangkitan adalah proses yang baru maka hal ini tetap mudah bagi Allah ﷻ. Hal ini dikarenakan banyak hal yang lebih hebat yang Allah ﷻ ciptakan dari penciptaan manusia. Allah ﷻ berfirman,
﴿ لَخَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ﴾
“Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (AL-Mu’min: 57)
Jika Allah ﷻ mampu menciptakan langit dan bumi dengan begitu hebat maka menciptakan kembali manusia sangat mudah.
Ketiga: Allah ﷻ memberikan contoh di dunia orang-orang yang Allah ﷻ matikan kemudian Allah ﷻ hidupkan kembali. Allah ﷻ berfirman,
﴿أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَى قَرْيَةٍ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّى يُحْيِي هَذِهِ اللَّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا فَأَمَاتَهُ اللَّهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالَ بَلْ لَبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ إِلَى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ وَانْظُرْ إِلَى حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ آيَةً لِلنَّاسِ وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ﴾
“Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?” Ia menjawab: “Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari”. Allah berfirman: “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging”. Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata: “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.” (QS. Al-Baqarah: 259)
Contoh lainnya adalah kisah ashab al-kahfi yang tertidur selama 300 tahun kemudian Allah ﷻ bangkitkan mereka kembali. Seharusnya dengan waktu 300 tahu bisa membuat tubuh mereka hancur lebur, akan tetapi Allah ﷻ bisa membangunkan mereka kembali dalam kondisi normal.
Contoh berikutnya adalah orang yang pernah mati di zaman Nabi Musa ‘alaihissalam yang kemudian hidup kembali setelah dipukulkan dengan salah satu bagian dari sapi.
Keempat: Konsekuensi logika menunjukkan bahwasanya kita harus dibangkitkan untuk dimintai pertanggungjawaban.
Jika seorang direktur mendapati anak buahnya bertengkar atau berbuat zalim namun direktur hanya diam saja, maka kita katakan orang tersebut tidak pantas untuk menjadi direktur. Hal ini dikarenakan dia hanya diam saja melihat anak buahnya bertengkar atau berbuat zalim. Maka terlebih lagi Allah ﷻ Rabbul ‘alamin, yang Dia telah menciptakan manusia di mana mereka banyak melakukan kerusakan, kezaliman, berdusta, dan lainnya. Maka tidak mungkin Allah ﷻ akan membiarkan begitu saja semua itu. Sungguh tidak pantas jika ada Tuhan yang membiarkan segala kerusakan yang terjadi. Logika kita mengatakan bahwa antara orang yang menzalimi dan dizalimi harus dibangkitkan untuk diadili dan dimintai pertanggung jawaban.
Semua ini contoh yang menunjukkan bahwasanya Allah ﷻ mampu untuk menghidupkan kembali.
Oleh karenanya orang-orang yang menolak hari kebangkitan adalah orang-orang kafir. Allah ﷻ berfirman,
﴿ زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ لَنْ يُبْعَثُوا قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ وَذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ ﴾
“Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: ‘Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.’ Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. At-Taghabun: 7)
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,
وَأَرْسَلَ اللهُ جَمِيعَ الرُّسُلِ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ؛ وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿رُسُلًا مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ﴾. وَأَّولُهُمْ نُوحٌ عَلَيْهِ السَّلامُ، وَآخِرُهُمْ مُحَمَّدٌ ـ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ـ وَهُوَ خَاتَمُ النَّبِيِّينَ؛ وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ أَوَّلَهُمْ نُوحٌ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِن بَعْدِهِ﴾. وَكُلُّ أُمَّةٍ بَعَثَ اللهُ إِلَيْهِا رَسُولًا مِنْ نُوحٍ إِلَى مُحَمَّدٍ ـ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ـ يَأْمُرُهُمْ بِعِبَادَةِ اللهِ وَحْدَهُ، وَيَنْهَاهُمْ عَنْ عِبَادَةِ الطَّاغُوتِ؛ وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ﴾. وَافْتَرَضَ اللهُ عَلَى جَمِيعِ الْعِبَادِ الْكُفْرَ بِالطَّاغُوتِ وَالإِيمَانَ بِاللهِ.
قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ ـ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى: مَعْنَى الطَّاغُوتِ مَا تَجَاوَزَ بِهِ الْعَبْدُ حَدَّهُ مِنْ مَعْبُودٍ أَوْ مَتْبُوعٍ أَوْ مُطَاعٍ. وَالطَّوَاغِيتُ كَثِيرُونَ وَرُؤُوسُهُمْ خَمْسَةٌ: إِبْلِيسُ لَعَنَهُ اللهُ، وَمَنْ عُبِدَ وَهُوَ رَاضٍ، وَمَنْ دَعَا النَّاسَ إِلَى عِبَادَةِ نَفْسِهِ، وَمَنْ ادَّعَى شَيْئًا مِنْ عِلْمِ الْغَيْبِ، وَمَنْ حَكَمَ بِغَيْرِ مَا أَنْزَلَ اللهُ؛ وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ﴾. وَهَذَا هُوَ مَعْنَى لا اله إِلا اللهُ، وَفِي الْحَدِيثِ: “رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلامِ، وَعَمُودُهُ الصَّلاةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ”.
“Allah mengutus seluruh rasul sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Dalilnya adalah firman Allah ﷻ,
“(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” (QS. An-Nisa: 165)
Rasul yang pertama adalah Nuh ‘alaihissalam dan rasul yang terakhir adalah Muhammad ﷺ, dan dia adalah penutup para nabi. Dalil bahwa rasul yang pertama adalah Nuh alaihis salam adalah,
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh.” (QS. An-Nisa: 163)
Allah ﷻ mengutus kepada setiap umat seorang rasul dari Nuh hingga Muhammad ﷺ memerintahkan mereka untuk menyembah hanya kepada Allah semata dan melarang mereka menyembah tagut. Dalilnya adalah firman Allah ﷻ,
“Dan sungguh telah Kami utus pada setiap umat seorang rasul (untuk menyeru), ‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah tagut.’” (QS. An-Nahl: 36)
Allah ﷻ mewajibkan kepada seluruh hamba agar mengingkari tagut dan mengimani Allah. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Tagut adalah setiap yang disembah, diikuti, dan ditaati secara melampaui batas oleh hamba.”
Tagut ada banyak dan pimpinannya ada lima: (1) Iblis (semoga Allah melaknatnya), (2) seseorang yang rida disembah, (3) seseorang yang mengajak manusia agar menyembahnya, (4) seseorang yang mengaku mengetahui ilmu gaib, dan (5) seseorang yang berhukum dengan selain hukum yang Allah turunkan.”
Dalilnya adalah firman Allah ﷻ,
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat.” (QS. Al-Baqarah: 256)
Inilah makna لَا إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ. Dalam sebuah hadis Nabi ﷺ bersabda,
“Pangkal segala urusan adalah Islam, fondasinya adalah salat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.”
Syarah
Tugas para nabi adalah memberi kabar gembira bahwa orang yang beriman akan bahagia di dunia dan akhirat, dan memberi peringatan bahwa orang yang kufur akan sengsara di dunia dan akhirat. Diutusnya para rasul adalah sebagai hujah atas seluruh umat. Seandainya para rasul tidak diutus kepada mereka tentu mereka akan beralasan bahwa belum sampainya hujah kepada mereka. Dengan adanya para rasul maka hujah telah tegak atas mereka. Walaupun para rasul meninggal maka akan ada murid-muridnya yang akan mengemban tugas mereka.
Rasul pertama yang diutus adalah Nabi Nuh ‘alaihissalam. Hal ini sangat jelas sebagaimana disebutkan dalam hadis asy-syafaat al-‘uzhma pada hari kiamat kelak, orang-orang akan datang kepada Nabi Nuh ‘alaihissalam dan berkata,
يَا نُوحُ، أَنْتَ أَوَّلُ الرُّسُلِ إِلَى أَهْلِ الأَرْضِ
“Wahai Nuh, engkau adalah rasul pertama untuk penduduk bumi.” ([11])
Allah ﷻ menjelaskan bahwa dakwah para rasul adalah mengajak umat manusia untuk menyembah Allah ﷻ semata dan menjauhi tagut. Allah ﷻ berfirman,
﴿ وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ﴾
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Tagut.’” (QS. An-Nahl: 36)
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan bahwa tagut ada banyak, para pemimpinnya adalah:
Pertama: Iblis.
Iblis bisa disembah secara zatnya dan bisa juga disembah dengan cara menaati perintahnya.
Kedua: Yang disembah selain Allah ﷻ dan dia rida.
Jika ada seorang yang disembah namun dia tidak rida maka dia bukanlah tagut. Contohnya para nabi, malaikat, dan orang-orang saleh yang disembah namun mereka tidak rida.
Ketiga: Yang menyeru untuk menyembah dirinya seperti Firaun.
Keempat: Yang mengaku mengetahui ilmu gaib, seperti para dukun.
Kelima: Yang berhukum dengan selain hukum Allah ﷻ.
Berhukum dengan selain hukum Allah ﷻ pada asalnya hukumnya syirik kecil, namun jika dia meyakini bahwa hukum tersebut sebanding dengan hukum Allah ﷻ atau lebih baik dari hukum Allah ﷻ maka ini adalah syirik besar. Atau seseorang yang mengatakan bahwa dia berhak membuat hukum sebagaimana Allah ﷻ membuat hukum, maka dia telah kafir karena menempatkan dirinya setara dengan Allah ﷻ dalam membuat hukum. Allah ﷻ berfirman,
﴿إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ﴾
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS. Al-An’am: 57)
Inilah lima pemimpin tagut yang harus kita kufur kepadanya. Dalilnya adalah firman Allah ﷻ,
Allah ﷻ juga berfirman,
﴿فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى﴾
“Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat.” (QS. Al-Baqarah: 256)
Beriman kepada Allah ﷻ dan kufur kepada tagut adalah makna dari kalimat tauhid “laa ilaaha illallah”. Antara keduanya ada penetapan dan penafian. Menetapkan bahwa hanya Allah ﷻ yang berhak untuk disembah dan menafikan selain Allah ﷻ untuk disembah.
Sumber : https://bekalislam.firanda.com/5114-pokok-ketiga-mengenal-nabi-syarh-al-ushul-ats-tsalatsah.html