Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata :

اعْلَمْ رَحِمَكَ اللهُ أَنَّه يَجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ، تَعَلُّمُ هَذِهِ المَسَائِل الثَّلاثِ، والْعَمَلُ بِهِنَّ

“Ketahuilah –semoga Allah merahmatimu– bahwa wajib bagi setiap muslim dan muslimah mempelajari pula tiga hal berikut ini dan mengamalkannya.

الأُولَى: أَنَّ اللهَ خَلَقَنَا، وَرَزَقَنَا، وَلَمْ يَتْرُكْنَا هَمَلًا، بَلْ أَرْسَلَ إِلَيْنَا رَسُولًا، فَمَنْ أَطَاعَهُ دَخَلَ الجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَاهُ دَخَلَ النَّارَ، وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: (إِنَّا أَرْسَلْنَا إِلَيْكُمْ رَسُولًا شَاهِدًا عَلَيْكُمْ كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُولًا، فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُولَ فَأَخَذْنَاهُ أَخْذًا وَبِيلًا)

“Pertama: Allah-lah yang menciptakan dan memberi rezki kepada kita dan tidak membiarkan kita terlantar, tetapi mengutus seorang rasul kepada kita. Barang siapa yang menaatinya, akan masuk surga, dan barang siapa yang menentangnya, akan masuk neraka. Dalilnya adalah firman Allah :

“Sesungguhnya Kami telah mengutus kepadamu seorang rasul sebagai saksi atas kalian, sebagaimana Kami telah mengutus seorang rasul kepada Firaun, lalu Firaun menentangnya, maka Kami siksa ia dengan siksaan yang berat.”  (QS. Al-Muzammil : 15-16)

الثَّانِيَةُ: أَنَّ الله لا يَرْضَى أَنْ يُشْرَكَ مَعَهُ أَحَدٌ فِي عِبَادَتِهِ، لا مَلَكٌ مُقَرَّبٌ، وَلا نَبِيٌّ مُرْسَلٌ؛ وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا﴾

“kedua: Sesungguhnya Allah tidak rida disekutukan dengan siapa pun dalam beribadah kepada-Nya, tidak dengan malaikat yang didekatkan dan tidak pula dengan Nabi yang diutus. Dalilnya adalah firman Allah ﷻ,

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. (QS. Al-Jinn: 18)

الثَّالِثَةُ: أَنَّ مَنْ أَطَاعَ الرَّسُولَ، وَوَحَّدَ اللهَ لا يَجُوزُ لَهُ مُوَالاةُ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ، وَلَوْ كَانَ أَقْرَبَ قَرِيبٍ؛ وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ﴾ [المجادلة: 22].

Ketiga: Barang siapa yang menaati Rasul dan mentauhidkan Allah, maka tidak boleh baginya untuk berwala’ (loyal) kepada orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun ia adalah kerabat dekatnya. Dalilnya adalah firman Allah ﷻ:

 “Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.”  (QS. Al-Mujadilah: 22)

Syarah

Penulis (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah) menyatakan bahwa wajib bagi setiap muslim dan muslimah untuk mempelajari 3 permasalahan dan wajib untuk mengamalkannya.

Pertama : Tuhan itu ada, menciptakan kita, dan tidak membiarkan kita begitu saja, akan tetapi mengutus Rasulullah g, sehingga wajib bagi kita untuk taat kepada Rasulullah g

Kedua : Bahwasanya Allah tidak rido dengan kesyirikan.

Ketiga : Wajibnya tidak boleh bermuawalat (loyal) kepada orang-orang yang memusuhi Allah dan RasulNya.

Kita hidup di zaman di mana banyak pemikiran sesat terkait eksistensi Tuhan semakin bermunculan dan menyebar. Padahal adanya sang pencipta merupakan fitrah yang ada pada setiap manusia. Banyak dalil yang menunjukkan akan keberadaan sang pencipta bagi seseorang yang masih lurus fitrahnya.

Jika ada seorang anak kecil terdorong lantas kita sampaikan kepadanya bahwa dia terdorong tiba-tiba tanpa sebab, tentu anak kecil itu tidak akan terima. Demikian juga jika kita katakan bahwa seluruh baju terjadi dengan tiba-tiba terjahit tanpa ada yang menjahitnya tentu adalah perkara yang mustahil. Apalagi dengan alam semesta ini yang berjalan dengan teratur, apakah tidak ada yang menciptakannya?

Abu Hanifah pernah berdebat dengan para Ateis yang mengingkari eksistensi Sang Pencipta. Beliau berkata kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian, jika ada sebuah kapal diberi muatan barang-barang, penuh dengan barang-barang dan beban. Kapal tersebut mengarungi samudera. Gelombangnya kecil, anginnya tenang. Akan tetapi setelah kapal sampai di tengah tiba-tiba terjadi badai besar. Anehnya kapal terus berlayar dengan tenang sehingga tiba di tujuan sesuai rencana tanpa guncangan dan berbelok arah, padahal tak ada nakhoda yang mengemudikan dan mengendalikan jalannya kapal. Masuk akalkah cerita ini?” Mereka berkata, “Tidak mungkin. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal, bahkan oleh khayal sekalipun, wahai Syekh.” Lalu Abu Hanifah berkata, “Subhanallah, kalian mengingkari adanya kapal yang berlayar sendiri tanpa pengemudi, namun kalian mengakui bahwa alam semesta yang terdiri dari lautan yang membentang, langit yang penuh bintang, dan benda-benda langit serta burung yang beterbangan tanpa adanya Pencipta yang sempurna penciptaan-Nya dan mengaturnya dengan cermat?! Celakalah kalian, lantas apa yang membuat kalian ingkar kepada Allah?”([16])

Mengatakan bahwa semuanya terjadi dengan sendirinya adalah jawaban yang tidak masuk akal. Tidak mungkin segala sesuatu tersusun dengan rapi melainkan telah ada yang mengaturnya. Orang ateis sendiri  terkadang fitrahnya masih menyadari akan keberadaan Tuhan yang menciptakan alam semesta. Dalam kondisi terdesak dan genting maka fitrah orang ateis akan mencari Tuhan untuk menyelamatkannya, ia membutuhkan sandaran yang kuat untuk menyelamatkannya. Suatu pepatah asing mengatakan “No atheists in foxholes” yang artinya “Tidak ada atheis di dalam lobang perlindungan perang”([17]). Yaitu jika dalam kondisi genting sedang berlindung di dalam lobang perlindungan maka semua prajurit perang akan ingat dan meminta pertolongan kepada Tuhan.

Penulis pernah diceritakan oleh salah seorang teman yang ia juga berteman dengan orang-orang ateis, tatkala mereka pergi bersama-sama untuk memancing di salah satu tempat yang ada di pulau Bali, tiba-tiba datang ombak yang besar, seketika itu pula orang ateis tersebut berdoa kepada Tuhan seolah-olah fitrahnya muncul untuk mencari kekuatan terbesar yang mampu mengatur jalannya ombak tersebut. Ternyata pada saat kondisi genting fitrahnya mengalahkan keateisannya.

Selain menciptakan, Allah ﷻ juga yang senantiasa memberikan rezeki kepada para makhluk-Nya. Allah ﷻ tidak membiarkan kita begitu saja. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan pemahaman orang-orang ateis yang sebagian mereka mengatakan bahwa Tuhan sudah mati. Mereka meyakini bahwa Tuhan ada namun Tuhan sudah mati. Sebagian yang lain mengatakan bahwa Tuhan masih ada namun setelah selesai menciptakan Dia tinggalkan ciptaan-Nya begitu saja. seperti orang yang menciptakan sebuah jam kemudian setelah selesai dan jam tersebut sudah aktif maka ia tinggalkan jam tersebut.

Tentu saja paham seperti ini adalah paham yang sangat keliru karena Allah ﷻ menciptakan alam semesta dengan tujuan. Allah ﷻ berfirman tentang orang-orang yang cerdas serta menggunakan akalnya untuk merenungkan kebesaran Allah ﷻ ,

﴿إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِن مَّاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ﴾

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al Baqarah:164)

Allah ﷻ juga berfirman,

﴿أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا 6لَا تُرْجَعُونَ، فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ﴾

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia.” (Al Mu’minun: 115-116)

Dalam ayat yang lain Allah ﷻ menyebutkan,

﴿أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَن يُتْرَكَ سُدًى، أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِّن مَّنِيٍّ يُمْنَىٰ، ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّىٰ، فَجَعَلَ مِنْهُ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنثَىٰ، أَلَيْسَ ذَٰلِكَ بِقَادِرٍ عَلَىٰ أَن يُحْيِيَ الْمَوْتَىٰ ﴾

Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)? Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, lalu Allah menjadikan dari padanya sepasang: laki-laki dan perempuan. Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati? (QS. Al Qiyamah: 36-40)

Tentu saja tidak mungkin tahapan-tahapan yang sangat detail ini tercipta begitu saja tanpa adanya sang pencipta. Tidak mungkin pula ciptaan yang sangat sempurna ini dibiarkan begitu saja oleh sang pencipta tanpa adanya aturan yang mengatur mereka. Oleh karenanya, sebagaimana yang dikatakan oleh syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah,

وَلَمْ يَتْرُكْنَا هَمَلًا، بَلْ أَرْسَلَ إِلَيْنَا رَسُولًا

“Dan Allah tidak membiarkan kita terlantar, tetapi mengutus seorang rasul kepada kita”

Dalam hal ini Allah ﷻ pernah berfirman dalam hadis Qudsi,

إِنَّمَا بَعَثْتُكَ لِأَبْتَلِيَكَ وَأَبْتَلِيَ بِكَ

“Sesungguhnya aku mengutusmu untuk mengujimu dan menjadikanmu bahan ujian bagi manusia”([18])

Allah ﷻ mengutus seorang rasul dengan beberapa tugas, di antaranya:

  • Mengenalkan sifat-sifat Allah ﷻ
  • Menjelaskan apa yang dicintai Allah ﷻ agar dijalankan dan menjelaskan yang dibenci agar ditinggalkan
  • Mengingatkan akan adanya hari pembalasan

Sesungguhnya kebutuhan kita terhadap seorang rasul merupakan kebutuhan primer untuk menjalani kehidupan ini. Hal ini dikarenakan para makhluk tidak mengetahui mana aturan yang baik bagi mereka. Lihatlah sekarang ketika manusia saling berlomba-lomba untuk membuat aturan-aturan yang dinilai baik namun tetap saja banyak yang tidak setuju kemudian di demo dan diganti, dan yang demikian ini terus berlanjut tanpa ada standar yang pasti. Maka adanya seorang rasul yang membawa aturan yang datang dari sang pencipta (yang tahu mana yang baik dan mana yang  buruk bagi ciptaan-Nya) dan merupakan aturan yang terus berlaku hingga hari kiamat kelak merupakan kebutuhan yang sangat mendesak.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata,

فَمَنْ أَطَاعَهُ دَخَلَ الجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَاهُ دَخَلَ النَّارَ

“Barang siapa yang menaatinya, akan masuk surga, dan barang siapa yang menentangnya, akan masuk neraka”

Di sini beliau menjelaskan bahwa mereka diuji dengan datangnya rasul tersebut. Barang siapa yang taat kepadanya maka akan selamat dan dimasukkan ke dalam surga dan barang siapa yang membangkang maka akan dimasukkan ke dalam neraka.

Kemudian beliau membawakan dalil atas pernyataan tersebut,

﴿إِنَّا أَرْسَلْنَا إِلَيْكُمْ رَسُولًا شَاهِدًا عَلَيْكُمْ كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُولًا، فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُولَ فَأَخَذْنَاهُ أَخْذًا وَبِيلًا﴾

“Sesungguhnya Kami telah mengutus kepadamu seorang rasul sebagai saksi atas kalian, sebagaimana Kami telah mengutus seorang rasul kepada Firaun, lalu Firaun menentangnya, maka Kami siksa ia dengan siksaan yang berat.”  (QS. Al-Muzammil : 15-16)

Melalui ayat ini beliau ingin menjelaskan bahwasanya Allah ﷻ pernah mengingatkan orang-orang musyrikin Arab bahwa diutusnya Nabi Muhammad ﷺ bukanlah sesuatu yang baru karena Allah ﷻ dahulu juga pernah mengutus Nabi Musa kepada Firaun.  Barang siapa yang membangkang kepada Nabi yang telah di utus oleh Allah ﷻ maka akan berakhir seperti Firaun yang dahulu membangkang kepada Nabi Musa alaihissalam. Dalam hal ini Allah ﷻ menyebutkan bahwa Firaun akan mendapatkan “siksaan yang berat” sebagaimana penjelasan para ulama bahwa Firaun mendapatkan siksaan di segala alam di dunia, di barzakh dan di akhirat. Di dunia ia di tenggelamkan di laut merah, di alam barzakh sebagaimana di jelaskan oleh Allah ﷻ dalam surah Ghafir bahwa Firaun dan bala tentaranya dipaparkan kepada mereka panasnya api neraka.

﴿النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا﴾

“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang”. (QS. Ghafir: 46)

Adapun di alam akhirat maka ia akan mendapatkan azab yang sangat keras. Allah ﷻ berfirman,

﴿وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ﴾

“Dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat), “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras”. (QS. Ghafir: 46)

Oleh karenanya hendaknya seseorang tidak berspekulasi dalam hidupnya kemudian memilih untuk tidak taat kepada Nabi Muhammad ﷺ. Kehidupan hanya sekali dengan tidak taat kepada beliau bisa jadi seseorang akan sengsara kehidupan di dunia, alam barzakh dan kehidupannya kelak di akhirat seperti yang di alami oleh Firaun dan bala tentaranya yang membangkang kepada Nabi Musa alaihissalam.

Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab berkata :

الثَّانِيَةُ: أَنَّ الله لا يَرْضَى أَنْ يُشْرَكَ مَعَهُ أَحَدٌ فِي عِبَادَتِهِ، لا مَلَكٌ مُقَرَّبٌ، وَلا نَبِيٌّ مُرْسَلٌ؛ وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا﴾

“kedua: Sesungguhnya Allah tidak rida disekutukan dengan siapa pun dalam beribadah kepada-Nya, tidak dengan malaikat yang didekatkan dan tidak pula dengan Nabi yang diutus. Dalilnya adalah firman Allah ﷻ,

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. (QS. Al-Jinn: 18)

Syarah

Pada poin yang kedua ini beliau ingin menjelaskan tentang bahaya syirik. Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad ﷺ selain datang dengan menjelaskan tentang sifat-sifat Allah, menjelaskan apa yang dicintai Allah ﷻ agar dijalankan dan menjelaskan yang dibenci agar ditinggalkan serta mengingatkan akan adanya hari pembalasan, beliau juga memerintahkan kita untuk mentauhidkan Allah ﷻ. Karena Allah ﷻ lah yang semata-mata menciptakan kita dan memberikan rezeki kepada kita maka Dia adalah satu-satunya Dzat yang wajib untuk diibadahi.

Dari sini kita tahu bahwasanya di antara bahaya perbuatan syirik adalah :

Pertama: Syirik merupakan dosa besar, bahkan dosa yang paling besar. Karena dengan syirik seseorang telah menjatuhkan hak utama Allah ﷻ yaitu bertauhid kepada-Nya. Belum tentu seorang yang berzina, merampok ataupun durhaka dengan kedua orang tuanya serta merta akan disiksa oleh Allah ﷻ, bisa jadi Allah ampuni mereka karena status mereka sebagai seorang muslim atau bisa jadi mereka akan di azab di neraka karena perbuatan mereka, namun azab tersebut tidaklah kekal. Bisa jadi di azab dalam waktu yang sangat lama namun azab tersebut tidaklah kekal. Berbeda dengan orang yang berbuat syirik kepada Allah ﷻ maka jika dia wafat dalam kondisi tidak bertobat atas kesyirikan tersebut maka dia adalah orang yang akan kekal disiksa di dalam neraka. Hal ini dikarenakan dosa-dosa selain syirik semuanya masih berkaitan dengan hak manusia, adapun syirik maka berkaitan dengan hak Allah ﷻ. Dia yang telah menciptakan seseorang dari tidak ada menjadi ada, menghidupkannya serta memberikan rezeki kepadanya lantas ia beribadah kepada makhluk yang sama-sama diciptakan oleh Allah ﷻ maka tentu ini perbuatan merupakan dosa dan kezaliman yang paling besar. Oleh karenanya Rasulullah ﷺ  ketika ditanya,

أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ؟

“Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?”

قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ

Rasulullah ﷺ menjawab, “Kamu membuat tandingan bagi Allah (syirik), sedangkan Dialah yang menciptakanmu.”([19])

Jika seandainya seseorang diciptakan oleh Allah dan seorang Nabi maka dipersilahkan baginya untuk menyembah Nabi tersebut. Namun, perkaranya tidaklah demikian. Faktanya Allah ﷻ sendirianlah yang telah menciptakannya dan memberikan rezeki kepadanya, maka beribadah kepada selain-Nya adalah kezaliman yang paling besar.

Hendaknya seseorang melihat besarnya dosa dari kacamata syariat. Saat ini kita banyak dapati orang-orang yang meminta kepada kuburan, namun banyak dari kita yang menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja. Berbeda ketika kita mendapati orang yang sedang berzina atau merampok maka kita akan langsung naik pitam. Ini merupakan perkara yang harus diluruskan, seseorang yang marah ketika melihat orang lain berzina atau merampok seharusnya ia lebih marah lagi ketika mendapati orang-orang berbuat kesyirikan dengan meminta-minta kepada kuburan atau pergi ke dukun misalnya.

Contoh sederhananya, ketika seorang anak kecil dibesarkan oleh kedua orang tuanya. Sejak berada di dalam kandungan selalu diperhatikan. Kemudian lahir terus menerus diperhatikan dan dirawat dengan baik. Diberikan pendidikan yang layak dan dibiayai hingga tumbuh menjadi seorang yang sudah dewasa. Akan tetapi ketika telah dewasa ia justru memberikan baktinya kepada orang lain yang tak pernah memberikan kepadanya apa pun, atau berbakti kepada kedua orang tuanya dan juga berbakti kepada orang lain, maka tentu hal ini  akan membuat kedua orang tuanya marah. Lantas bagaimana dengan Allah ﷻ yang telah menciptakannya dari tidak ada menjadi ada, menghidupkannya serta memberikan rezeki kepadanya namun ia justru menyekutukan-Nya atau beribadah kepada selain-Nya maka ini merupakan perkara yang tentunya menjadikan Allah murka kepadanya dan menilainya sebagai dosa yang paling besar disisi-Nya.

Kedua: Seorang yang meninggal dalam keadaan syirik tidak akan diampuni selama-lamanya. Allah ﷻ berfirman,

﴿إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا﴾

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. An Nisa”:48)

Rasulullah ﷺ  juga bersabda,

مَنْ مَاتَ وَهْوَ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ نِدًّا دَخَلَ النَّارَ وَقُلْتُ أَنَا مَنْ مَاتَ وَهْوَ لَا يَدْعُو لِلَّهِ نِدًّا دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barang siapa yang mati, sedangkan dia menyeru selain Allah sebagai tandingannya maka dia masuk neraka. Sedangkan aku berkata; ‘Barang siapa yang mati dan dia tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu maka dia masuk surga.”([20])

Adapun orang-orang yang berbuat dosa-dosa selain syirik maka bisa jadi mendapatkan ampunan dari sisi Allah ﷻ atau disiksa di neraka namun tidak akan kekal selama-lamanya di dalamnya. Ada saatnya mereka akan dikeluarkan dari neraka. Oleh karenanya ada orang-orang yang dikenal sebagai ‘Jahannamiyun’ yaitu orang-orang yang pernah di azab di neraka Jahanam, di leher-leher neraka terdapat tanda yang dikenali oleh penduduk surga bahwasanya mereka adalah alumni neraka Jahanam.([21])  Adapun orang-orang yang berbuat kesyirikan dan mati di atas kesyirikan maka ia akan kekal di neraka Jahanam selama-lamanya.

Ketiga: Seseorang yang melakukan kesyirikan maka akan gugur seluruh amalannya. Allah ﷻ berfirman,

﴿وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ﴾

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Az Zumar: 65)

Secara umum orang yang berbuat dosa-dosa selain syirik, maka tentu ia telah berdosa, namun dosa-dosa tersebut tidaklah menggugurkan amalan-amalan kebajikan yang pernah ia lakukan. Dosa-dosa tersebut masuk dalam timbangan amal keburukan namun tidak mempengaruhi amalan-amalan kebaikan yang pernah ia lakukan. Berbeda dengan perbuatan syirik akbar, seseorang yang telah beribadah selama 60 tahun akan gugur seluruh amalannya ketika di penghujung hayatnya dia berdoa kepada selain Allah ﷻ . seluruh amalannya selama 60 tahun tersebut gugur semua dalam waktu kurang dari 5 menit.

Oleh karenanya Allah tidak rida untuk disekutukan dengan sesuatu apapun dalam peribadatan kepada-Nya. Tidak dengan malaikat yang didekatkan dan tidak pula dengan Nabi yang diutus. Tidak boleh bagi seseorang untuk berdoa kepada malaikat, misalnya, seseorang ingin agar hujan turun lantas ia berdoa kepada malaikat Mikail agar menurunkan hujan. Malaikat yang jelas-jelas diperintahkan oleh Allah untuk menurunkan hujan saja tidak boleh kita berdoa kepadanya lantas bagaimana dengan yang meminta turunnya hujan kepada makhluk-makhluk yang derajatnya tidak seperti malaikat atau meminta kepada para penghuni kubur agar memberikan pertolongan dan menurunkan hujan. Sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang sufi dan disebutkan dalam kitab mereka Jawahir al-Ma’ani, di mana mereka berkeyakinan bahwa Abdul Qadir Jaelani diberikan “Kun” oleh Allah ﷻ . Apa saja yang beliau kehendaki maka bisa terwujud hanya dengan mengatakan ‘kun’ saja([22]). Tentu saja keyakinan ini merupakan syirik akbar yang dapat menggugurkan seluruh amalan orang yang melakukannya.

Hal ini hendaknya semakin menjadikan kita bersyukur, bahwa di luar sana banyak orang-orang yang siang dan malam berdoa kepada Nabi Isa alaihissalam. Padahal beliau adalah seorang manusia dan beliau adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Allah ﷻ berfirman,

﴿إِنَّ مَثَلَ عِيسَىٰ عِندَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَۖ خَلَقَهُ مِن تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُن فَيَكُونُ﴾

“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia. (QS. Ali Imran:59)

Allah ﷻ juga berfirman,

﴿مَّا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌۖ كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَۗ انظُرْ كَيْفَ نُبَيِّنُ لَهُمُ الْآيَاتِ ثُمَّ انظُرْ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ﴾

Al Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu). (QS. Al Ma’idah: 75)

Intinya Allah tidak rida siapa pun disekutukan dengan Allah ﷻ. Jika para malaikat yang dekat dengan Allah ﷻ dan para Nabi tidak diperkenankan bagi seseorang untuk menjadikan mereka sekutu dengan Allah ﷻ maka bagaimana dengan para wali-wali atau mayat-mayat yang ada di dalam kuburan yang mungkin tidak jelas asal-usul dan status mayat tersebut?

Dalam hal ini Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berdalil dengan firman Allah ﷻ,

﴿وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا﴾

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. (QS. Al-Jinn: 18)

Dari ayat ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwasanya hakikat syirik adalah ‘menyekutukan’ berarti beribadah kepada Allah ﷻ dan beribadah juga kepada selain Allah ﷻ. Jangan sampai kita berpikir bahwa orang muysrik tidak beribadah kepada Allah, justru dinamakan musyrik karena dia telah menjadikan selain Allah sebagai syarikat/sekutu dalam peribadatan kepada Allah ﷻ.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata :

الثَّالِثَةُ: أَنَّ مَنْ أَطَاعَ الرَّسُولَ، وَوَحَّدَ اللهَ لا يَجُوزُ لَهُ مُوَالاةُ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ، وَلَوْ كَانَ أَقْرَبَ قَرِيبٍ؛ وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿ لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴾ [المجادلة: 22].

Ketiga: Barang siapa yang menaati Rasul dan mentauhidkan Allah, maka tidak boleh baginya untuk berwala’ (loyal) kepada orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun ia adalah kerabat dekatnya. Dalilnya adalah firman Allah ﷻ:

 “Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.”  (QS. Al-Mujadilah: 22)

Syarah

Di sini syekh Muhammad bin Abdul Wahhab menjelaskan tentang konsekuensi dari tauhid (tidak syirik), di antaranya bahwa orang-orang yang beriman dan bertauhid maka ia tidak akan mencintai musuh-musuh Allah ﷻ. Penjelasan tentang ini terdapat pada beberapa tempat dalam Al-Qur’an di antaranya firman Allah ﷻ,

﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُم مِّنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَن تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِن كُنتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِيۚ تُسِرُّونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنتُمْۚ وَمَن يَفْعَلْهُ مِنكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ﴾

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al Mumtahanah: 1)

Allah ﷻ juga berfirman,

﴿۞يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ﴾

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Ma’idah: 51)

Dalam ayat yang lain Allah mengisahkan sikap Nabi Ibrahim yang berlepas diri dari ayahnya dan kaumnya yang senantiasa berbuat syirik kepada Allah. Allah ﷻ berfirman,

﴿قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُۙ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ﴾

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja”. (QS. Al Mumtahanah: 4)

Tidak mungkin seorang yang bertauhid bercinta kasih dengan orang musyrik yang mana mereka merupakan musuh Allah ﷻ dan Rasulnya. Secara akidah (keyakinan hati) hal ini di larang dalam agama. Adapun secara muamalah maka kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada mereka selama mereka tidak memusuhi agama kita. Allah ﷻ berfirman,

﴿لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ﴾

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah:8)

Secara keyakinan hati kita tahu bahwa mereka adalah musuh Allah ﷻ dan Rasul-Nya dengan kesyirikan dan kekufuran yang mereka lakukan. Ini merupakan konsekuensi tauhid seseorang bahwa tidak boleh baginya untuk loyal terhadap musuh-musuh Allah ﷻ. Adapun selama mereka bukan orang yang memerangi kita karena agama, maka syariat memerintahkan kita untuk berbuat baik dan adil kepada mereka.

Sumber : https://bekalislam.firanda.com/5097-mukadimah-al-uhsul-ats-tsalatsah.html

 

Leave a Comment