Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata :
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ اعْلمْ رَحِمَكَ اللهُ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْنَا تَعَلُّمُ أَرْبَعِ مَسَائِلَ
(الأُولَى) الْعِلْمُ وَهُوَ مَعْرِفَةُ اللهِ، وَمَعْرِفَةُ نَبِيِّهِ، وَمَعْرِفَةُ دِيْنِ الْإِسْلَامِ بِالْأَدِلَّة.
(الثَّانِيَة) الْعَمَلُ بِهِ.
(الثَّالِثَة) الدَّعْوَةُ إِلَيْهِ.
(الرَّابِعَةُ) الصَّبْرُ عَلَى الأَذَى فِيهِ، وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
وَالْعَصْرِ – إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ – إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.
قال الشافعي رحمه اله تَعَالَى: لَوْ مَا أَنْزَلَ اللهُ حُجَّةً عَلَى خَلْقِهِ إِلا هَذِهِ السُّورَةَ لَكَفَتْهُمْ.
وَقَالَ البُخَارِيُّ رحمه الله تعالى (بَابُ) ” العِلْمُ قَبْلَ القَوْلِ وَالْعَمَلِ، وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ}
فَبَدَأَ بِالْعِلْمِ قَبْلَ القَوْلِ وَالعَمَلِ.
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ketahuilah semoga Allah merahmatimu sesungguhnya wajib bagi kita untuk mempelajari empat perkara:
Pertama adalah ilmu, yaitu mengenal Allah ﷻ, mengenal nabi-Nya dan mengenal agama Islam dengan dalil-dalinya.
Kedua adalah beramal dengan ilmu tersebut.
Ketiga adalah berdakwah kepada apa yang telah diilmuinya.
Keempat adalah bersabar dalam gangguan yang menimpa tatkala berdakwah di jalan Allah ﷻ.
Adapun dalilnya adalah firman Allah ﷻ,
“Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, ‘Seandainya Allah tidak menurunkan bagi manusia satu argumentasi pun selain ayat ini, maka sudah cukup bagi mereka’.
Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata, ‘Bab tentang ilmu sebelum berkata dan beramal’ dan dalilnya adalah firman Allah ﷻ,
“Ketahuilah bahwa tidak ada Tuhan yang patut untuk disembah kecuali Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu.” (QS. Muhammad: 19)
Maka, Allah ﷻ memulai dengan ilmu sebelum perkataan dan perbuatan.”
Syarah
Buku yang ringkas ini mengajarkan kita untuk terbiasa dalam berdalil untuk membicarakan tentang permasalahan agama. Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memulai perkataannya dengan mengucapkan,
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
Disunahkan bagi kita untuk mengucapkan basmalah pada saat membuat tulisan maupun bekerja. Berdasarkan sabda Nabi Muhammad ﷺ,
كُلُّ كَلَامٍ، أَوْ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُفْتَحُ بِذِكْرِ اللهِ، فَهُوَ أَبْتَرُ
“Setiap ucapan atau perkara penting yang tidak dibuka dengan zikir, maka dia terputus.” ([1])
Dalam hal-hal yang penting Nabi Muhammad ﷺ selalu mengawali dengan ucapan basmalah. Sebagaimana juga Nabi Sulaiman ‘alaihissalam ketika menulis surat kepada ratu Bilqis,
إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“Sesungguhnya (surat) itu dari Sulaiman yang isinya, “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” (QS. An-Naml: 30)
Begitu juga dengan Nabi Muhammad ﷺ setiap kali menulis surat yang ditujukan kepada para raja supaya masuk Islam, maka beliau selalu membuka dengan basmalah. Di antaranya beliau menulis surat kepada raja romawi. Ketika seorang utusan membawa surat tersebut kepada Heraklius, raja Romawi, maka dia mengambilnya dan membacanya,
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ
“Dengan menyebut nama Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad hamba Allah dan utusan-Nya kepada Heraklius raja Romawi.” ([2])
Selain itu, banyak dari para ulama yang membuka tulisan dan buku-buku dengan ucapan basmalah.
Ketika seseorang mengucapkan basmalah, maksudnya dia sedang mencari keberkahan dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang sekaligus meminta pertolongan kepada Allah agar memudahkan urusannya.
Setelah itu Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata,
اعْلمْ رَحِمَكَ اللهُ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْنَا تَعَلُّمُ أَرْبَعِ مَسَائِلَ
“Ketahuilah semoga Allah merahmatimu sesungguhnya wajib bagi kita untuk mempelajari empat perkara.”
Sebelum menyampaikan apa yang hendak disampaikan, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mendoakan kepada setiap orang yang membaca buku ini, ‘Semoga Allah ﷻ merahmatimu’ bahwa sesungguhnya Allah ﷻ mewajibkan bagi kita untuk memperlajari empat perkara.
Empat perkara tersebut adalah: ilmu, amal, berdakwah dan sabar. Dalil dari semua perkara ini adalah firman Allah ﷻ,
وَالْعَصْرِ – إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ – إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)
Artinya semua orang mengalami kerugian, kecuali orang-orang beriman atau sama dengan orang-orang yang berilmu, yang beramal saleh, saling menasehati dalam kebenaran atau berdakwah, dan sabar. Inilah perkara-perkara yang sejatinya menjadi landasan bagi setiap muslim yang wajib untuk dipelajari.
1. (الْعِلْمُ) ‘Ilmu’.
Beliau menyebutkan bahwa ilmu mencakup tiga perkara, di antaranya adalah:
- (مَعْرِفَةُ اللهِ) mengenal Allah ﷻ
- (وَمَعْرِفَةُ نَبِيِّهِ) mengenal Nabi Muhammad ﷺ
- (وَمَعْرِفَةُ دِيْنِ الْإِسْلَامِ) mengenal agama Islam
(بِالْأَدِلَّة) ‘dengan dalil’, artinya untuk mengetahui segala ilmu tersebut harus dengan dalil.
Ilmu adalah ibadah yang sangat agung. Terlalu banyak dalil yang menjelaskan tentang agungnya ilmu, baik di dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi Muhammad ﷺ, sebagaimana telah banyak dibahas oleh penulis dalam bab keutamaan ilmu.
Tatkala kita belajar, kita harus sadar bahwasanya menuntut ilmu itu ibadah. Sebagaimana ketika kita mengerjakan salat, maka hendaknya kita serius mengerjakannya, ketika kita membaca Al-Qur’an, maka hendaknya kita serius membacanya, ketika kita bersedekah, maka hendaknya kita serius dalam bersedekah dan juga ketika menuntut ilmu. Menuntut ilmu adalah ibadah. Rasulullah ﷺ bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.”([3])
Setiap orang yang menuntut ilmu, sejatinya dia mencari sesuatu yang dicintai oleh Allah ﷻ, karena Allah ﷻ cinta dengan ilmu tersebut. Oleh karenanya, Allah ﷻ menggandengkan persaksian orang yang berilmu dengan persaksian Allah ﷻ, sebagaimana firman Allah ﷻ,
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ
“Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan orang berilmu yang menegakkan keadilan.” (QS. Ali ‘Imran: 18)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah ﷻ menggandengkan persaksian ke-Esa-annya dengan malaikat dan para ulama. Allah ﷻ menjadikan persaksian para ulama sebagai hujah bagi Allah ﷻ untuk menyatakan bahwa Allah ﷻ Maha Esa. Oleh karenanya, Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah diperintahkan untuk meminta tambahan, melainkan hanya tambahan ilmu. Berdasarkan firman Allah ﷻ,
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.” (QS. Taha: 114)
Hal ini yang tercantum di dalam Al-Qur’an bahwa Rasulullah ﷺ tidak pernah diperintahkan untuk meminta tambahan, kecuali tambahan ilmu. Oleh karenanya, Ibnul Mubarak rahimahullah mengatakan,
وَلَا أَعْلَمُ بَعْدَ النُّبُوَّةِ دَرَجَةً أَفْضَل مِنْ بَثِّ الْعِلْمِ
“Aku tidak mengetahui ada satu perkara yang lebih baik kedudukannya setelah kenabian daripada menyebarkan ilmu.” ([4])
Ilmu apa yang dimaksud?
Ilmu dibagi menjadi dua, yaitu:
- Ilmu dunia. Ilmu ini dibagi menjadi tiga:
- Fardu ‘ain dan kifayah.
Ilmu dunia termasuk hal yang penting. Karena kita tahu bahwa agama Islam bukan hanya berbicara tentang masalah syariat saja dan setiap orang butuh tentang ilmu kedokteran, politik, peperangan, persenjataan, teknologi, dan ilmu keduniaan lainnya, maka umat Islam juga butuh terhadap ilmu ini.
Jika ada orang yang ditunjuk oleh penguasa untuk mempelajari ilmu-ilmu yang berat tersebut, maka hukumnya adalah fardu ‘ain. Jika telah cukup orang-orang yang mempelajarinya dan banyak orang yang mempelajarinya, maka hukumnya menjadi fardu kifayah.
- Mubah, yaitu berupa ilmu-ilmu dunia yang bermanfaat.
- Haram, yaitu berupa ilmu-ilmu dunia yang diharamkan untuk mempelajarinya, seperti: ilmu judi, meramal dan yang semisalnya. Hukum mempelajari ilmu-ilmu ini adalah haram.
- Ilmu syariat (agama). Ilmu ini dibagi menjadi tiga:
- Fardu ‘ain.
Ilmu yang wajib diketahui oleh setiap muslim adalah semua ilmu yang harus diketahui oleh seorang hamba dalam menjalankan aktivitas keagamaannya.
Al-Imam Ahmad berkata, وَيَجِبُ أَنْ يَطْلُبَ مِنْ الْعِلْمِ مَا يَقُومُ بِهِ دِينُهُ “Wajib baginya untuk menuntut ilmu yang dengannya ia bisa menjalankan agamanya”.
Maka dikatakan kepada beliau, فَكُلُّ الْعِلْمِ يَقُومُ بِهِ دِينُهُ “Semua ilmu tentu menegakkan agamanya ?”. Beliau berkata, الْفَرْضُ الَّذِي يَجِبُ عَلَيْهِ فِي نَفْسِهِ لَا بُدَّ لَهُ مِنْ طَلَبِهِ“Kewajiban yang wajib dirinya untuk melakukannya maka ia harus menuntut ilmunya”. Dikatakan kepada beliau, مِثْلُ أَيِّ شَيْءٍ “Seperti apa?”. Beliau berkata, الَّذِي لَا يَسَعُهُ جَهْلُهُ: صَلَاتُهُ، وَصِيَامُهُ “Yang tidak boleh ia tidak tahu, ilmu tentang sholatnya dan puasanya” ([5])
Contoh ilmu yang fardu áin adalah ilmu-ilmu dasar akidah, rukun-rukun Islam, dan lain sebagainya. Hukum mempelajari ilmu ini adalah fardu ‘ain. Kita harus mengetahui siapa Rabb kita yang harus kita ibadahi, kita harus tahu secara dasar siapa nabi yang kita teladani, kita harus tahu bagaimana ilmu salat, ilmu wudu ataupun ilmu berhaji. Secara umum, semua hal yang hendak kita lakukan, maka kita harus tahu ilmunya.
Sebagai contohnya adalah tentang seseorang yang hendak berdagang, maka dia harus mengetahui ilmu perdagangan terlebih dahulu. Manakah hal-halal yang dihalalkan di dalam perdagangan atau apa saja hal-hal yang diharamkan? Agar tidak terjerumus ke dalam riba atau larangan Allah ﷻ. Begitu juga dengan seseorang yang hendak menikah, maka dia harus mengetahui fikih nikah secara dasar. Seseorang yang hendak menjatuhkan cerai kepada istrinya, maka dia harus mengetahui terlebih dahulu ilmu tentang perceraian.
Yang sangat menyedihkan bagi sebagian kaum muslimin tidak mengetahui sama sekali fikih cerai, bagaimana cara menjatuhkan cerai, kapan boleh menjatuhkan cerai, bagaimana hukum kelanjutan setelah perceraian dan bagaimana cara ruju’ dari perceraian. Padahal, dengan mudah mereka mengatakan kepada istri mereka, ‘Kamu saya cerai’.
Oleh karenanya, semua hal yang hendak kita kerjakan, maka kita harus mengetahui ilmunya. Inilah yang dimaksud dengan fardu ‘ain.
- Fardu kifayah.
Ilmu-ilmu tertentu yang harus diketahui oleh sebagian orang. Contohnya adalah ilmu usul fikih, usul hadis, musthalah hadis, tafsir, dan di antaranya adalah bahasa Arab dan ilmu yang lainnya. Tidak semua orang mempelajari ilmu ini.
Ada juga sebagian orang yang wajib baginya untuk mempelajarinya, seperti contohnya adalah para ulama yang berfatwa dan wajib bagi mereka mempelajari ilmu-ilmu yang sifatnya fardu kifayah. Karena jika tidak mempelajarinya, maka mereka akan berfatwa tanpa ilmu dan menyesatkan. Karena mereka memiliki kebiasaan menjawab pertanyaan, maka wajib bagi mereka untuk mempelajari ilmu-ilmu yang berat untuk memahaminya. Jika mereka tidak mempelajari ilmu-ilmu tersebut, maka tidak diperbolehkan bagi mereka memasuki ranah ini.
- Sunah/Mustahab.
Ilmu-ilmu yang tidak wajib bagi seseorang, maka boleh untuk mempelajarinya. Contohnya adalah seseorang yang bukan mufti/ahli berfatwa tetapi hendak mempelajari ilmu usul fikih, maka dibolehkan baginya untuk mempelajarinya. Jika dia adalah seorang dokter dan hendak mempelajari bahasa Arab atau usul fikih atau usul hadis, maka diperbolehkan baginya untuk mempelajarinya. Adapun jika dia adalah seorang mufti, maka hukumnya adalah wajib.
Perihal dalil-dalil yang menjelaskan tentang pentingnya ilmu tersebut berkaitan dengan ilmu-ilmu syar’i, karena ilmu-ilmu itulah yang merupakan warisan para nabi. Para nabi tidak mewariskan ilmu teknologi, kedokteran atau ilmu dunia lainnya, tetapi yang mereka wariskan adalah ilmu syar’i. Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, akan tetapi mewariskan ilmu.” ([6])
Ilmu inilah yang menjadikan seseorang bertakwa dan semakin mendekatkan kepada Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Faathir: 28)
Dengan demikian, tidak berarti setelah itu kita mengesampingkan ilmu dunia. Tidak, justru ilmu dunia menjadi bernilai jika diniatkan untuk Islam dan kaum muslimin. Tergantung niat dari orang yang mempelajarinya. Barangkali ilmu dunia terlihat sepele, akan tetapi jika seseorang mempelajari ilmu kedokteran atau pemerintahan untuk menerapkan kepentingan kaum muslimin, maka dia akan mendapatkan pahala. Hal ini karena Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.” ([7])
Di antara contoh nyata yang pernah disabdakan oleh Nabi Muhammad ﷺ adalah tujuh golongan yang mendapatkan naungan Allah ﷻ pada hari kiamat kelak, di mana salah satu dari golongan tersebut adalah pemimpin yang adil. Nabi Muhammad ﷺ menyebutkan tentang dunia berupa pemimpin yang adil. Seorang pemimpin yang adil, jika mampu masuk ke dalam pemerintahan dan memimpin dengan keadilan dan memberikan manfaat kepada orang banyak, maka dia akan mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Allah ﷻ.
Dari sini kita tahu bahwasanya di antara ilmu yang wajib adalah mengenal Allah ﷻ, mengenal nabi dan mengenal agama Islam.
Imam al-Bukhari rahimahullah menyebutkan (بَابُ العِلْمُ قَبْلَ القَوْلِ وَالْعَمَلِ) ‘Bab ilmu itu sebelum berkata dan bertindak’. Perkataan ini terlihat sepele, tetapi sejatinya hal ini menjadi poin yang sangat penting dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kita harus belajar, jangan hanya memiliki hobi berkomentar atau memberikan kritikan kepada orang lain dan bertindak semaunya, jika kita tidak mempunyai ilmu. Allah ﷻ berfirman,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Isra’: 36)
Pada zaman sekarang, sebagian orang tidak hanya memiliki hobi berbicara pada masalah dunia atau politik saja, tetapi banyak dari mereka yang berbicara masalah agama sesuai dengan hawa nafsunya. Hendaknya setiap muslim memperhatikan ucapan dan tindakannya. Yang lebih penting dari itu adalah dia harus berilmu terlebih dahulu sebelum berucap dan berbuat.
-
(الْعَمَلُ بِهِ) ‘mengamalkannya’.
Setelah seseorang memiliki ilmu, maka hendaknya dia mengamalkannya. Sejatinya ada dua kelompok yang tercela, yaitu:
- (الضَّالَّيْن) ‘orang-orang yang tersesat’ yaitu orang-orang Nasrani, di mana mereka beramal tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi orang-orang yang tersesat.
- (الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِم) ‘orang-orang yang dimurkai’ yaitu orang-orang Yahudi, di mana mereka berilmu tapi tidak beramal, sehingga mereka menjadi golongan yang dimurkai oleh Allah ﷻ.
Kedua kelompok ini adalah kelompok tercela. Oleh karenanya, barang siapa yang semangat beribadah tanpa ilmu, maka dia tidak jauh berbeda dengan orang-orang Nasrani. Saking semangatnya mereka beribadah, mereka menjanjikan diri mereka untuk tidak boleh menikah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ﷻ.
Barang siapa yang berilmu tanpa amal, maka dia tidak ada bedanya dengan orang-orang Yahudi. Karena jika seseorang mempunyai ilmu, kemudian tidak menerapkan dengan amalannya, maka sesungguhnya ilmu tersebut menjadi bumerang baginya. Rasulullah ﷺ bersabda,
وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
“Al-Qur’an itu menjadi pembela bagimu atau akan memusuhimu. ” ([8])
Di dalam pandangan syariat Islam, barang siapa yang memiliki ilmu, maka dia harus mengamalkannya. Tidak boleh hanya sekedar memiliki ilmu, menambah wawasan, menambah catatan, pandai menulis ataupun pandai berbicara, tetapi tidak mengamalkan apa yang telah dia ilmui. Oleh karenanya, orang yang berilmu tanpa amal, sejatinya dia seperti orang-orang Yahudi, di mana mereka berilmu tanpa mengamalkannya.
-
(الدَّعْوَةُ إِلَيْهِ) ‘mendakwahkannya’
Barang siapa yang telah mengamalkan ilmunya, maka hendaknya dia mendakwahkannya. Karena konsekuensi dari ilmu dan amal adalah mendakwahkan, agar orang lain pun tahu akan indahnya ilmu dan amal yang merupakan sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat.” ([9])
Apakah semua orang harus menjadi ustaz agar bisa berdakwah? Jawabannya adalah tidak. Dakwah ada dua bentuk, yaitu:
- Mengajak orang lain berbuat baik pada perkara-perkara dasar. Metode ini berlaku untuk semua orang.
- Mengajar secara khusus layaknya seorang guru atau ustaz atau menjawab pertanyaan. Metode ini hanya berlaku khusus untuk orang yang berilmu.
Jangan sampai seseorang salah ranah dalam berdakwah. Sebagian orang baru mengetahui sedikit ilmu, lalu berdakwah, berdebat, berbicara secara detail mengenai suatu permasalahan, padahal dia tidak memiliki ilmu tentang hal itu. Hendaknya setiap orang mengetahui kapasitas dirinya, karena apa yang dia ucapkan akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah ﷻ.
Yang menjadi masalah adalah banyaknya orang-orang awam yang berbicara layaknya ustaz. Contoh sederhananya ada seorang artis yang baru bertobat, boleh baginya berdakwah kepada orag lain pada perkara-perkara dasar, sebagai motivator misalnya. Seperti kita sebagai orang awam, boleh bagi kita mendakwahi teman-teman di kantor, keluarga kita di rumah ataupun tetangga dengan mengajak salat, menghadiri majelis ilmu, berbicara tentang tauhid atau keimanan, selama tidak memasuki ranah metode berdakwah yang khusus bagi orang yang berilmu.
Namun, sekarang banyak orang di dalam media sosial memasuki ranah berdakwah yang sejatinya khusus bagi orang yang berilmu saja. Banyak orang awam sudah berani berbicara masalah agama, mengomentarinya, membantah sana dan sini hingga tak berujung. Bahkan sebagian orang baru taubat sudah langsung berbicara layaknya seorang ustaz. Seharusnya ia belajar agama terlebih dahulu, mengkokohkan imannya, tidak tampil terlebih dahulu dan fokus untuk membenahi dirinya. Sebagian orang yang di masa jahilnya tenar maka tidak mesti ketika sadar dan bertaubat harus tenar pula. Dikawatirkan ia akan tersibukan dengan ketenarannya sehingga lupa untuk membenahi diri dan hatinya.
Intinya hendaknya setiap orang harus tahu diri bahwa kita boleh berdakwah berdasarkan ranah masing-masing.
-
(الصَّبْرُ عَلَى الأَذَى فِيهِ) ‘bersabar’ atas gangguan ketika mendakwahkannya.
Hendaknya orang yang mendakwahkan ilmunya selalu bersabar dalam banyak hal, di antaranya:
- Sabar dalam menuntut ilmu
Tidak sembarang orang mampu menuntut ilmu, karena kebanyakan dari mereka tidak bersabar. Az-Zuhri rahimahullah berkata,
مَنْ رَامَ الْعِلْمَ جُمْلَةً، ذَهَبَ عَنْهُ جُمْلَةً فَإِنَّمَا يُؤْخَذُ الْعِلْمُ عَلَى مَرِّ الْأَيَّامِ وَاللَّيَالِي
“Barang siapa yang berkeinginan memiliki ilmu sekaligus, maka ilmunya akan hilang sekaligus. Akan tetapi ilmu itu dicari dengan perjalanan berhari-hari dan bermalam-malam.”([10])
Tidak mungkin seseorang belajar semua ilmu dalam waktu singkat menguasai segala ilmu. Akan tetapi, dia harus mempelajarinya dengan sabar setiap hari dan setiap malam, sedikit demi sedikit. Seperti seseorang yang hendak berbicara masalah nikah, maka dia harus mulai mempelajarinya dari ilmu fikih pada bab pernikahan, lalu mempelajari syarat nikah, rukun nikah, mukadimah nikah dan tahap selanjutnya. Akan tetapi, kebanyakan orang terburu-buru berbicara membahas poligami dengan melewatkan bab pernikahan. Tentu saja, dalam hal ini mereka tidak memulai dengan tahapan yang benar. Allah ﷻ berfirman,
وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“Tetapi, “Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya!.” (QS. Ali ‘Imran: 79)
رَبَّانِيِّينَ bermakna para yang ulama yang mengajarkan ilmu-ilmu secara bertahap, mulai dari ilmu yang ringan hingga yang berat. Al-Bukhari berkata :
وَيُقَالُ: الرَّبَّانِيُّ الَّذِي يُرَبِّي النَّاسَ بِصِغَارِ العِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ
“Dan dikatakan bahwa Ar-Robbani adalah yang mentarbiah masyarakat dengan ilmu-ilmu kecil sebelum ilmu-ilmu yang besar” ([11])
Yaitu yang mengajarkan ilmu kepada masyarakat بِالتَّدَرُّجِ “dengan bertahap” ([12])
Demikianlah cera menuntut ilmu yang benar, dengan bertahap. Oleh karenanya, ketika seseorang memiliki keingingan untuk menguasai ilmu secara keseluruhan dalam sekejap, maka ilmu yang dikuasainya juga akan hilang dalam sekejap pula. Jadi, menuntut ilmu itu membutuhkan kepada kesabaran. Jika ilmu bisa diraih tanpa kesabaran dan tanpa tahapan maka semua orang akan menjadi ulama. Namun, kita lihat ternyata jumlah para ulama tidaklah banyak. Kenapa? Karena tidak semua orang mampu untuk bersabar dalam menuntut ilmu.
Menuntut ilmu butuh kepada kesabaran, sabar dalam memahami pelajaran maupun sabar dalam bertanya terkait ilmu yang dipelajarinya. Semua ini merupakan ibadah. Setiap orang yang duduk selama satu atau dua jam untuk menuntut ilmu, maka sejatinya dia telah beribadah kepada Allah ﷻ. Dalil yang menjelaskan akan hal ini sangat banyak. Oleh karenanya, hendaknya setiap dari kita tahu dan menanamkan di dalam dirinya bahwa menuntut ilmu adalah ibadah.
Al-Imam Ahmad berkata :
طَلَبُ الْعِلْمِ أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ لِمَنْ صَحَّتْ نِيَّتُهُ
“Menuntut ilmu adalah amal ibadah terbaik bagi orang yang niatnya benar”.
Lalu ditanyakan kepada beliau, فَأَيُّ شَيْءٍ تَصْحِيحُ النِّيَّةِ “Bagaimana caranya membenarkan niat?”. Beliau berkata, يَنْوِي: يَتَوَاضَعُ فِيهِ، وَيَنْفِي عَنْهُ الْجَهْلَ “Ia meniatkan untuk tawadhu dalam ilmu dan untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya” ([13])
Menuntut ilmu tidak hanya untuk sekedar ketawa-ketiwi atau menghibur diri. Akan tetapi, menuntut ilmu adalah belajar. Untuk bertemu kepada Allah ﷻ, kita membutuhkan untuk mempelajari ilmu akidah. Hendaknya kita memiliki iman yang kokoh. Jika kita tidak belajar, maka iman kita tidak kokoh, sedangkan kita akan masuk surga berdasarkan iman yang kita miliki.
- Sabar dalam beramal.
Barang siapa yang telah bersabar dalam menuntut ilmu, maka hendaknya dia bersabar dalam mengamalkan ilmunya. Perkara ini juga tidaklah mudah. Beramal saleh juga membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Sabar dalam menjalan salat, mengamalkan perkara yang sunah, membayar zakat, berbakti kepada kedua orang tua maupun meninggalkan maksiat. Secara teori, seseorang sangat mudah berbicara tentang sabar, tetapi ketika dihadapkan dalam suatu kondisi yang membuatnya emosi ternyata dia tidak mampu bersabar. Secara teori bisa mengetahuinya, tetapi tidak mampu mengamalkannya.
- Sabar dalam berdakwah
Perkara ini juga tidak kalah pentingnya, karena jika seseorang telah menuntut ilmu dan mengamalkannya, lalu mendakwahkannya, maka sudah pasti dia akan menemui gangguan-gangguan dan rintangan. Orang yang berdakwah pasti akan diuji. Oleh karenanya, di antara nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya adalah sebagaimana firman Allah ﷻ,
وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (QS. Luqman: 17)
Setelah Luqman menasehati anaknya untuk beramar makruf dan bernahi mungkar, yaitu berdakwah, maka setelah itu ia menasehati anaknya untuk bersabar. Hal ini karena sudah merupakan kelaziman bagi orang yang berdakwah maka ia akan diganggu.
Keempat perkara di atas (berilmu, mengamalkan, berdakwah, dan bersabdar) terkumpul di dalam surah Al-‘Ashr. Allah ﷻ berfirman,
وَالْعَصْرِ – إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ – إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)
Sesungguhnya seluruh manusia dalam kerugian. Para ulama menjelaskan bahwa kerugian meliputinya dari segala arah. Allah ﷻ tidak berkata “manusia rugi”, tetapi menyebutkan bahwa “manusia dalam kerugian”, yaitu seakan-akan manusia tenggelam dalam kerugian sehingga kerugian menerpanya dari segala arah dan sisi, baik dari depan, belakang, atas maupun bawah, manusia terhimpit dalam kerugian([14]).
Siapakah yang selamat dari kerugian yang meliputi dari segala sisi? Mereka adalah:
- Orang-orang yang beriman. Beriman melazimkan ilmu. Tidak mungkin seseorang beriman tanpa ilmu.
- Beramal saleh.
- Saling berwasiat dalam kebenaran/berdakwah dan mengingatkan kepada sesama
- Bersabar
Oleh karenanya, Abu Madinah ad-Darimi berkata,
كَانَ الرَّجُلَانِ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا التَقَيَا، ثُمَّ أَرَادَا أَنْ يَفْتَرِقَا، قَرَأَ أَحَدُهُمَا: وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ حَتَّى يَخْتِمَهَا، ثُمَّ يُسَلِّمُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى صَاحِبِهِ
“Dahulu jika dua orang sahabat Nabi Muhammad ﷺ saling bertemu, kemudian hendak berpisah, maka salah saru dari keduanya membaca surah Al-‘Ashr hingga akhir surah, kemudian salah satu dari keduanya saling mengucapkan salam kepada yang lainnya.” ([15])
Inilah surah yang sangat agung, di mana iman Asy-Syafi’i berkata,
لَوْ مَا أَنْزَلَ اللهُ حُجَّةً عَلَى خَلْقِهِ إِلا هَذِهِ السُّورَةَ لَكَفَتْهُمْ
“Seandainya Allah tidak menurunkan bagi manusia satu argumentasi pun selain ayat ini, maka sudah cukup bagi mereka.”
Ayat ini sebagai peringatan bagi kita dalam menjalani kehidupan bahwa kita akan menghadapi hari akhirat. Allah ﷻ memberikan peringatan bahwa semua manusia akan menuai kerugian kecuali orang yang beriman yang didapatkan dengan ilmu, beramal, saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
Sumber : https://bekalislam.firanda.com/5097-mukadimah-al-uhsul-ats-tsalatsah.html